It's only about perspective...

Langit masih mendung dengan angin dingin yang bertiup menusuk tulang-tulangku. Aku diam terduduk di hadapan televisi yang menampilkan arogansi manusia kalangan atas. Hampir satu jam aku terdiam. Bukan berarti aku menikmati acara di hadapanku, namun tubuhku tidak bisa kugerakkan akibat penyakit yang kuderita seminggu belakangan ini.

Aku masih ingat betul, seminggu yang lalu aku sanggup melakukan semua aktivitasku dengan lancar. Tidak ada keluhan berat yang kurasakan. Hanya saja daerah pinggangku terasa sedikit pegal. Ah, kupikir karena aku terlalu banyak duduk di kantor. Memang setiap pagi seletah bangun pagi, rasa itu hilang dan akan muncul perlahan-lahan menjelang siang. Rasa pegal itu perlahan berubah menjadi rasa linu dan nyeri, bahkan kini merambah ke setiap sendi-sendi. Dan kemarin dokter memintaku beristirahat satu minggu untuk memulihkan tubuhku dalam menghadapi chikungunya.

Sebenarnya bukan hanya rasa sakit di tubuh yang kurasakan. Aku kecewa. Kecewa karena semua ini terjadi di kala urusan pekerjaanku sedang banyak-banyaknya. Semua terjadi ketika aku harus bekerja dengan waktu untuk sebuah proyek besar. Baru beberapa hari aku tidak masuk, bayangan kegagalan sudah menghantuiku melalui berita dari rekan kerjaku.

Aku menghela napas. Beban di hati ini lebih sakit rasanya dibanding sendi-sendiku. Aku mengubah posisi dudukku. Terasa ngilu di dareah punggung dan tangan.

“Permisi.”
Ada suara seorang wanita dari luar yang mengagetkanku.
Dengan tertaih, aku keluar dan menemukan seorang wanita separuh baya sambil tersenyum kepadaku.
“Mas Saan nya ada?” tanyanya lembut.
Aku membalas senyumnya, “Mas Saan sedang keluar sebentar, Bu. Beli makanan.”
“Ini pasti Lisa istrinya?” tebaknya.
Aku mengangguk sambil otakku terus berputar mengira-ngira siapa yang dihadapanku ini.

Melihat aku kebingungan, ia seketika mengulurkan tangannya padaku dan hendak mencium tanganku. Reflek, aku menarik tanganku karena sosoknya jauh lebih tua daripadaku.
“Darsih.” sahutnya kemudian.
“Oalah, Mbak Darsih. Maaf, saya baru pertama kali ketemu. Mas Saan sudah sering cerita tentang Mbak Darsih.” sahutku sambil menggandengnya masuk.

Suamiku, Saan mengenal baik Mbak Darsih. Mbak Darsih dipekerjakan untuk mengurus Saan sejak Saan masih bayi hingga berusia sekitar 7 tahun. Sekarang Mbak Darsih bekerja menemani dan mengurus rumah seorang nenek tua di pinggiran kota. Sesekali ia bertandang ke rumah, hanya saja di waktu aku bekerja sehingga ia hanya bertemu dengan Saan atau penjaga rumahku.

Banyak cerita tentang Mbak Darsih yang Saan ceritakan padaku. Dan sekarang, bertemu dengannya dan berbicara banyak, membuatku lebih mengenal sosok Mbak Darsih. Mbak Darsih tidak pernah menikah, sebuah pilihan hidup yang sangat kuhargai. Alasannya sederhana dan sangat prinsip. Ia tidak ingin terikat dengan orang lain yang membuatnya tidak bisa melakukan hal-hal yang ia senangi, seperti mengurus orangtuanya sambil tetap bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Semuanya itu ia kerjakan secara total. Sangat total.

Meski demikian, Mbak Darsih sangat menyukai anak kecil. Para cucu dari majikannya saat ini lebih memilih tidur bersama Mbak Darsih dibanding neneknya. Mbak Darsih mengatakan,” Orangtua seperti anak kecil, lucu, polos. Makanya mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian seperti anak kecil.”

Mbak Darsih termasuk orang yang sensitif dan melankolis. Ia bahkan tak malu sesekali mencucurkan air matanya di depanku saat bercerita tentang kesedihannya tidak bisa menyaksikan pemakaman ayahnya, tentang ibunya yang begitu polos terhadap kelakuan buruk anak-anaknya, tentang kakak-kakaknya yang acuh terhadap orangtua, tentang majikannya yang saat ini sedang sakit keras, bahkan tentang kenangan-kenangan saat ia mengasuh Saan dulu.

Aku sempat kecewa karena penyakit yang kualami saat ini. Di tengah kesibukan proyek di kantor dan segala macam aktivitasku. Tapi sosok polos dan melankolis Mbak Darsih mengajariku memandang sudut kehidupan yang berbeda. Bahwa segala pengalaman yang pahit itu bagaimanapun juga adalah sebuah kenangan dan kenangan yang pahit itulah yang kemudian menguatkan.

Banyak hal yang kualami dan kemudian membuatku kecewa. Akupun menyadari kekecewaan itu selama ini terlalu lama kusimpan sebagai mimpi buruk.

Aku masih terduduk di hadapan televisi. Kali ini tidak sendiri, Saan duduk di sampingku. Aku bersandar di bahunya. Tangannya membelai lembut kepalaku. Rasa sakit di setiap sendi tak berkurang sedikitpun. Tapi aku tak lagi merasa kalau tubuhku tak berdaya. Aku merasa rileks dan tenang di rumah bersama yang kucintai.


Segala sesuatu tergantung kita memandangnya indah atau tidak.

Terima kasih ya, Mbak Darsih.

cari