
Inspired by the song of James Ingram, No Need to Say Good Bye
Aku sudah benar-benar hapal dengan suara-suara mesin yang berada dalam ruangan ICU ini. Bahkan aromanya sudah sangat akrab di hidungku. Aku merapikan pakaian khusus ICU yang kedodoran di tubuhku, melangkah pelan menuju tempat tidur paling pojok. Ibuku hampir empat minggu di sana. Sambil berjalan, sekilas aku melihat pasien di sebelah Ibu. Seorang bapak terbaring sambil mengejang dan berteriak. Hatiku miris sekaligus khawatir suaranya membangunkan ibu.
Seperti biasanya, siang ini aku masuk melihat kondisi ibu. Hanya dua kali dalam sehari kami diperbolehkan masuk, meskipun keluarga inti. Selebihnya kami menunggui ibu di ruang tunggu ICU. Aku perhatikan monitor kecil di samping tempat tidur ibu. Kondisi ibu turun lagi. Tekanan darahnya tidak stabil, kadar oksigen dalam darahnya turun, bahkan angka jumlah pernapasannya naik turun. Tak bisa kupungkiri, hampir satu bulan di sini membuat aku paham akan istilah kedokteran, penanganan pasien, dsb.
Aku pandangi wajah ibu. Napasnya tersengal-sengal. Ada bekas air mata yang mengering di sudut matanya. Aku mengambil tissu dan membersihkan sekitar mata ibu dengan air mineral. Ibu tidak berkutik. Tangan dan kakinya tak merespon. Tapi aku yakin ibu masih bisa merasakan apa yang kulakukan dan mendengarkan apa yang kukatakan.
Aku berdoa sambil memegang tangan ibu. Doa... Ya, itu yang hampir setiap detik aku lakukan. Tuhan mungkin mengetuk hatiku melalui peristiwa ini. Mungkin aku tidak akan sedekat ini dengan Tuhan jika tidak dalam kondisi ini. Aku selalu memohon kesembuhan ibu. Tapi semakin dalam aku berdoa, aku menyadari bahwa doa yang kupanjatkan adalah sebuah doa yang egois. Aku merubah doaku. Aku tidak lagi berdoa untuk kesembuhan ibu, aku berdoa mohon yang terbaik untuk ibu. Dan Tuhan segera menjawabnya.

***
Sudah dua bulan berlalu sejak pemakaman ibu.
Sore ini aku terduduk di kursi yang biasa ibu duduki sambil membaca majalah. Ada rasa kangen yang menyusup di hatiku. Ada rasa sesal juga karena aku belum melakukan banyak hal untuknya. Bahkan aku belum sempat mengucapkan kata perpisahan untuk ibu.
Aku pandangi foto ibu di meja. Foto saat ibu mengenakan kebaya, cantik dan anggun. Ia tersenyum sambil memandang kamera, seolah-olah memandangku sekarang. Aku membalas senyum ibu. Aku percaya ibu bahagia di sana.
No need to say good bye.
I'll see you again tomorrow.
No matter how life turns around.
I always be there.
Ya, memang kadang ucapan selamat tinggal terlalu menyakitkan hati.
Aku tahu ibu “ada” di sini. Aku tahu dia selalu “ada” di sini.
In memoriam Ibu Mertua Babes A. Soeparwoto
Sep 13. 2009