Cerita dari Seekor Sapi


Sudah hampir satu minggu aku berada di lapangan ini. Bukan cuma aku saja sih, tapi juga bersama beberapa sapi lainnya. Ada juga beberapa kambing. Ya, ibuku bilang, ini adalah kejadian satu tahun sekali. Biasanya kami selalu berada di kampung atau di lapangan pinggiran kota. Sekarang kami bisa berada di tengah-tengah kota, bahkan aku sekarang sudah berada di Jakarta. Bayangkan! Jakarta...

Sebetulnya aku sedih juga karena bapak dan ibu masih di kampung. Maklum, bapak sudah tua dan ibu sebentar lagi melahirkan adik-adikku. Jadilah aku sendiri yang dibawa. Sebelum aku dibawa ke Jakarta, ibuku bilang kalau ini semua jangan dilihat sebagai penderitaan. Memang kita dilahirkan untuk bekerja keras di ladang , sawah atau lahir untuk disembelih. Aku menangis waktu tahu aku akan disembelih. Memang sih bukan cuma aku yang disembelih. Ada buanyyyaaakk sekali sapi-sapi seperti aku di dunia ini yang akan dikurbankan pas hari idul Adha. Meski dalam hati aku terus bertanya, kenapa aku...kenapa aku...kenapa manusia tidak berkurban dengan cara lain selain menyembelih aku dan teman-temanku, aku berusaha memahami perkataan ibu :(

Oiya, tadi pagi, bokong aku ditulis dengan cat warna merah. Aku dapat nomer satu. Ah, apakah artinya aku ini paling bagus diantara sapi-sapi yang ada di sini? Atau angka ini hanya urutan untuk penyembelihan? Apapun artinya, aku hanya pasrah saja. Tapi siang ini, semua kegundahanku terjawab sudah. Sewaktu aku makan rumput yang hanya satu kali bisa kumakan dalam sehari, ada satu manusia besar dan satu manusia kecil datang mendekatiku. Dari pembicaraan mereka, aku baru menyadari kalau mereka setiap hari datang ke tempat ini. Si manusia kecil memanggil si manusia besar dengan sebutan ibu, sama dengan aku memanggil ibuku :) Berarti, mereka adalah ibu dan anak. Pembicaraan mereka kurang lebih seperti ini:

Anak : Bu, besok kita bisa makan daging ya?
Si ibu tidak menjawab tapi bibirnya memanjang, ia lebih cantik dengan bibir panjang seperti itu.
Ibu : Iya nak, besok pagi, kita bisa makan daging. Semoga kita bisa dapat kurban ya, biar kamu bisa makan daging sapi lagi. Udah lama kan gak makan daging sapi?
Anak : Iya, kita kan bisa makan makan daging setiap Idul Adha aja.
Bibir si ibu kembali memanjang dan ia mengusap kepala anaknya.
Mereka pun pergi.

Aku lihat keduanya membawa keranjang di punggung mereka. Bahkan si ibu membawa juga dua kantong besar di tangan kanan dan kirinya. Terseok-seok mereka berjalan berdua, si anak memegang tangan si ibu.

Astaga, aku begitu egois. Aku hanya memikirkan penderitaanku sendiri. Benar apa kata ibuku. Aku memang terlahir untuk disembelih. Tapi aku terlahir untuk bisa berguna bagi manusia, terutama untuk anak itu. Aku bahagia kalau aku bisa dimakan dengan lezat oleh mereka. Aku bangga karena bapakku adalah tukang tarik gerobak paling hebat di kampungku. Aku juga bangga karena ibuku menghasilkan susu yang banyak. Aku baru tahu ternyata manusia yang lebih berada membagikan rejekinya kepada melalui aku.

Ah, kapan ya Idul Adha. Aku tidak sabar jadi urutan nomer satu disembelih :)


- Sapino -

cari