
Semua orang sering kali merasa ragu akan kemampuan dirinya. Namun ketika rasa ragu itu menjadi terlalu besar, berarti kau sedang membunuh dirimu sendiri.
Aku baru saja mengantarkan tunanganku pulang ke rumahnya. Seharian ini kami berbelanja untuk keperluan rumah baru kami. Aku duduk di tepi ranjangku, menghadap jendela, memandang langit yang semakin hitam.
Aku hendak membuka lembaran hidup baru bersama tunanganku, Tuhan, kenapa Kau munculkan lagi dia di hadapanku ?
Kemarin aku bertemu lagi dengan sosok masa laluku. Dulu dia adalah anak perempuan di kelasku. Anaknya lucu, imut-imut, pintar, selalu riang, tidak pernah kulihat dia sekalipun bersedih. Pertama kali aku sekelas dengan di kelas 5 sekolah dasar. Dia adalah satu-satunya perempuan sainganku untuk juara kelas. Tentunya aku malu jika dikalahkan oleh seorang perempuan. Aku belajar mati-matian supaya aku tetap juara kelas.
Ternyata perjuangan aku bukan hanya karena aku malu. Setiap hari senyum dan tawanya yang ceria selalu terbayang-bayang olehku. Dia menjadi penyemangat dalam hidupku. Tapi....yang menjadi pertanyaan besar di benakku adalah apakah dia suka juga denganku ? Setiap saat dia dekat dengan siapapun, dia bisa bercanda dan bergaul dengan siapapun, entah laki-laki maupun perempuan. Tapi begitu bertatapan ataupun berpapasan dengan aku, dia menunduk bahkan menjauh.
Aku tidak bisa menyalahkan dia atas sikapnya itu. Akupun memang membatasi diriku dalam pergaulan. Aku malu. Ya, aku memang tidak percaya diri dengan keadaanku. Aku mungkin juara kelas, tapi aku malu dengan kondisi keluargaku.
Bayangan adikku terlintas lagi. Bocah kurus yang tidak pernah lepas dari gendonganku. Aku pernah membencinya. Tapi semakin hari aku semakin mencintai kepolosan dan keterbatasannya. Memang dia diciptakan Tuhan untuk membuat aku menjadi kakak yang sabar.
Setiap hari, aku selalu berdoa supaya hari ini aku bisa berdekatan dengannya, paling tidak tersenyum padanya. Aku tidak peduli apakah dia mau membalasnya atau tidak. Namun yang terjadi adalah, setiap pulang sekolah, aku hanya mengutuki diriku sendiri di dalam kamar karena keragu-raguanku, karena kebodohanku, karena ketakutanku. Setiap hari selalu begitu.
Suatu hari, ada sekelompok anak perempuan di kelasku. Mereka terkenal dengan gank yang cantik dan anak orang kaya. Salah satu diantara mereka, ternyata menyukaiku. Aku bingung harus bagaimana. Hati kecilku ragu dan terus ragu untuk menyukainya. Tapi sekali lagi karena kebodohanku, aku tidak bisa menolak candaan manja dan rengekannya. Aku sangat membenci diriku karena aku harus mengambil keputusan yang berat. Aku tahu siapa yang aku sukai, tapi yang aku tahu dia tidak menyukai aku.
Tunanganku menelpon. Aku biarkan namanya menghilang dari layar handphoneku, berubah menjadi panggilan tak terjawab. Ya Tuhan, kenapa aku selalu diliputi oleh keragu-raguan ?
Akhirnya aku memutuskan untuk memilih sekolah lanjutan yang memberi fasilitas beasiswa penuh. Terpaksa aku pilih karena aku pun tidak mau menambah beban orang tuaku. Di satu sisi aku harus siap kehilangan dia, cinta pertamaku.
Namun suatu hari, aku dikejutkan oleh berita yang luar biasa. Dia dikabarkan berpacaran dengan salah seorang kenalanku. Aku mau marah. Aku tidak terima. Bukan hanya karena laki-laki itu kukenal tidak baik, tapi karena aku cemburu. Aku malu mengakui aku cemburu karena aku bukanlah siapa-siapa. Tapi rasa itu tidak bisa aku ingkari. Jadi kupendam saja rasa itu. Bahkan ketika aku beberapa kali bertemu dengannya, aku berpura-pura tidak ada sesuatupun yang terjadi. Aku lebih senang melihat wajahnya yang semakin lama semakin dewasa. Begitu seterusnya sambil aku mengejar cita-cita, memperbaiki karir dan kehidupan keluargaku hingga ke negeri Cina. Tanpa kusadari, aku menjadi pria penuh dedikasi untuk karir, karir, dan karir.
Hingga suatu saat, perusahaan tempat aku bekerja menempatkan aku untuk sebuah proyek di perusahaan swasta. Ternyata dia bekerja di situ. Ya Tuhan, Engkau telah mengubahnya menjadi wanita yang cantik, Senyum dan keceriannya tidak berubah sama sekali. Kami menyempatkan makan siang bersama. Saat itu, rasa yang selama ini terpendam, sedikit demi sedikit berontak keluar. Aku menyukai saat dia bercerita dengan semangatnya, tatapan matanya, tawanya. Kenapa dulu tidak bisa seperti itu, gadisku ?
Kami merencanakan makan siang yang kedua dan aku meneguhkan hatiku untuk kesekian kalinya. Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Aku sengaja mencari tempat makan yang cukup jauh, supaya banyak waktu bersama dia. Kami berjalan kaki. Aku sempat menggoda dia yang sedikit lebih gemuk dibanding pertemuan sebelumnya. Namun jawabannya membuat aku ingin masuk ke dalam tanah dan tidak akan muncul lagi. Ia bilang ia tengah bahagia bersama tunangannya.
Aku memasang alarm untuk besok pagi. Kulihat ada pesan masuk. Aku memutuskan untuk tidak membukanya.
Di tengah kegundahanku, aku lebih fokus pada kegiatan rohani. Aku jadi lebih teratur mengikuti ibadat mingguan. Hingga suatu hari, aku melihat namanya dalam pengumuman pernikahan. Aku tidak lagi emosi karena sudah habis batas emosiku. Memang aku yang membunuh cinta pertamaku sendiri dengan sikap ketakutan dan keragu-raguanku. Akhirnya, aku putuskan untuk mengucapkan selamat via pesan singkat. Dia membalasnya seperti biasa, dengan kata-kata yang ceria. Dia memintaku untuk hadir dalam pernikahannya. Saat itu aku berteriak dalam hati, Oh Gadisku, andai kau tahu, lebih baik kau bunuh aku daripada menyaksikan kau bersanding dengan pria lain.
Hari demi hari aku putuskan untuk mencoba menenangkan hatiku. Meski masih terbayang senyum dan candanya, aku mencoba membuka hati untuk sebuah cinta yang baru. Dia adalah sosok yang berbeda dengan cinta pertamaku. Pendiam, dewasa, tenang, dan sangat keibuan. Dia mencintaiku dan aku memutuskan untuk belajar mencintainya, hingga kini kami tengah menata lembar kehidupan baru.
Setelah sekian lama, kenapa kami dipertemukan kembali ? Dia sudah bersama pangeran cintanya. Ketika berjabat tangan, desiran itu masih terasa. Ketika menyaksikan kemesraan mereka, getaran itu masih bergelora. Namun apa dayaku ? Selain meninggalkan mereka dengan hati tak karuan.
Aku menyesal karena aku telah menyia-nyiakan cinta pertamaku. Namun di tengah penyesalanku ini, aku berharap bisa berterima kasih padanya. Dia mengajarkan padaku bahwa ketakutan dan keragu-raguan tidak akan memberikan hasil apa-apa. Dia mengajarkan aku mengenal rasa cinta pertama kali dalam hidupku. Dia juga yang menguatkan aku meski dengan sebuah luka.
Terima kasih, cinta pertamaku.
Aku memang tidak akan pernah melupakanmu, bukan lagi dengan mencintaimu tapi dengan terus mengenangmu dan mengenang semua yang terjadi di antara kita.
Semoga kau bahagia dengan pangeran pilihanmu.
Aku membuka pesan di handphone yang belum aku buka, ternyata tunanganku. Aku membalasnya. Tidak ada jawaban, sepertinya dia sudah terlelap. Aku memejamkan mata, membayangkan apa yang akan terjadi besok. Aku tidak lagi ragu, besok akan mendaftarkan pernikahanku di gereja, dengan tunanganku tercinta.
Segala sesuatu akan indah pada waktunya...
Indah saat Ia mempertemukan...
Indah saat Ia menyatukan ...