
Semua orang pastilah ingin menjadi sempurna. Menjadi lebih baik, paling tidak. Termasuk aku. Sebagai seorang perempuan, tentunya aku selalu berusaha tampil menarik, rapi, dan enak dilihat. Tapi tidak pernah kusangka sebelumnya jika sekarang aku menjadi seperti ini, hanya karena seorang laki-laki. Karena suamiku...
Namaku Elia. Aku baru saja lulus kuliah ketika aku berkenalan dengan Agung. Di mataku Agung sungguh laki-laki yang dewasa. Dia adalah sulung dari empat bersaudara. Agung sudah bekerja dan sambil kuliah S2. Di sela-sela kesibukannya sebagai seorang pegawai negeri. Agung sempat mengajar sekolah dasar untuk mata pelajaran Bahasa Mandarin. Semua itu dilakukan Agung padahal ia berasal dari kalangan keluarga cukup berada. Aku sungguh-sungguh kepincut pada Agung.
Selang beberapa lama, aku dan Agung semakin dekat. Memang tidak pernah terucap kata sayang secara langsung dari bibir Agung. Namun aku tahu ia sayang padaku dari tingkah lakunya, kata-katanya, dan perhatiannya yang ia berikan padaku.
Hubungan kami direstui oleh kedua orangtuaku. Mereka melihat Agung sebagai laki-laki yang baik dan bertanggung jawab. Tapi berbeda dengan orangtua Agung. Menurutku kedua orangtua Agung tidak sepenuhnya menerima aku. Memang tidak ada kata-kata yang jelas terucap dari mereka. Namun sikap Ibunya cukuplah membuat aku mengerti.
Hingga suatu saat Agung mengajakku bicara. Aku sendiri tidak begitu jelas memahami kata demi kata yang Agung ucapkan. Aku terlalu shock dan tidak percaya. Sedikit yang aku ingat dari semua penjelasannya adalah bahwa Ibunya menginginkan menantu paling tidak berpendidikan S2. Agung berjanji akan membantu aku mencarikan kampus yang terbaik untuk aku mengambil gelar S2. Bukannya apa-apa. Aku memang tidak pernah memilliki rencana untuk kuliah lagi. Tak sedikitpun terpikirkan olehku. Bisa jadi karena aku merasa memang diriku tidak mampu kuliah lagi.
Di tengah kebimbangan itu, kemana lagi aku harus mengadu selain kepada orangtuaku. Mereka menyerahkan sepenuhnya pada pilihanku. Mereka mempercayai aku sebagai seorang wanita dewasa yang mampu mengambil pilihan. Mungkin Anda akan mengecap aku bodoh, tapi memang, akhirnya aku kuliah mengambil gelar S2 di kampus almamater Agung dengan biaya sepenuhnya dariorangtuaku. Parahnya aku harus mengeluarkan ekstra uang untuk mempermulus kelulusanku mengingat nilaiku begitu pas-pasan. Semua aku lakukan karena aku mencintai Agung.
Selepas menyandang gelar tambahan di belakang namaku, perlahan-lahan aku merasa perilaku Ibu Agung mulai melunak. Komunikasi kami mulai terjalin. Meski aku masih merasa ketakutan setiap kali berbicara dengan beliau. Entah kenapa aku pun tidak tahu. Takut pokoknya.
Mungkin ketakutan ini berasal dari lubuk hatiku yang terdalam. Aku sepertinya diberikan ekstra feeling oleh Yang Kuasa akan hal-hal yang kemudian akan terjadi. Tapi aku tidak pernah menyadari akan hal itu. Yang pasti, suatu saat Agung kembali mengajak aku bicara serius. Hatiku sudah tidak karuan rasanya. Aku masih belum lupa saat pembicaraan Agung mengenai masalah S2. Sekarang apa ?
Ternyata Agung menyampaikan ketidaksukaan Ibunya terhadap bentuk gigi dan andeng-andeng ku. Ya Tuhan !
Ibu dan Ayahku yang membesarkan aku tidak pernah sekalipun mengomentari dua gigi depanku yang lebih besar dibanding yang lain. Mereka juga tidak pernah keberatan dengan tahi lalat yang cukup besar yang ada di atas bibirku. Aku sempat bingung dan takut. Namun kembali orangtuaku mengatakan akulah yang berhak memilih segala hal yang ada dalam hidupku. Mereka pun menyempatkan diri mengatakan bahwa mereka mencintai diriku apa adanya. Meski demikian, Anda lagi-lagi akan mengecap aku bodoh karena akhhirnya aku membuat orangtuaku mengeluarkan uang hampir sepuluh juta rupiah untuk mengoreksi gigi depanku dan menghilangkan tahi lalatku. Saat itu aku masih dengan yakin mengatakan aku mencintai Agung.
Kupikir pengorbananku sudah cukup besar untuk Agung. Aku sangat berharap Agung memahami itu. Namun karena kesibukannya, apalagi saat itu dia kembali mengambil gelar S3, perhatiannya terbagi antara keluarga, pekerjaan, kuliah, dan aku. Aku melihat semakin banyak ketidaksepahaman, semua karena komunikasi dan interaksi kami semakin jarang akibat kesibukan. Aku hampir mati rasanya ketika Agung untuk pertama kalinya menampar pipiku hanya karena aku meminta dia mengantarku pulang ke rumah setelah kami makan malam bersama. Waktu itu Agung bilang pekerjaan kuliahnya banyak sehingga harus pulang cepat, tidak bisa mengantarku pulang. Sepanjang perjalanan di dalam taxi aku menahan air mata.
Kemudian, hampir lebih dari lima tahun menjalin hubungan, Agung baru menyinggung masalah pernikahan. Aku menanggapinya dengan suka cita meski harus menjual mobil hadiah Ayahku untuk membantu biaya pernikahan kami yang lumayan besar. Memang tamu yang diundang dari kedua belah pihak sangat banyak. Kami sepakat membagi dua biaya pernikahan ini. Meski habis-habisan, aku sangat bahagia. Agung akhirnya menjadi suamiku.
Saat aku meminta ijin untuk menikah, Ayahku memberikan aku nasehat. Pernikahan itu ibarat sekolah. Aku dan Agung, yang akan menikah, adalah murid di sekolah pernikahan. Gurunya adalah Tuhan sendiri. Tata tertibnya adalah cinta, setia, dan pengertian. Setiap tahun tetap ada kenaikan kelas dan pembagian raport, yakni introspeksi yang harus dilakukan oleh suami istri untuk peningkatan kualitas hubungan yang lebih baik. Kelulusan sekolah akan terjadi saat keduanya menghadap Yang Kuasa. Jangan sampai drop out dari sekolah pernikahan !
Semua itu kusimpan rapi sebagai bekal kehidupan pernikahanku hingga kini. Kini usia pernikahanku sudah memasuki usia sepuluh tahun. Tak kupungkiri masalah-masalah kecil kian datang silih berganti. Setiap kali tidak segan-segan Agung marah dan memukul aku. Ia pun berlaku sangat keras dan disiplin pada kedua anak kami. Sampai kini, Agung memang tidak lepas dari kesibukannya. Meski demikian, setiap akhir minggu ia membebaskan dirinya dari segala pekerjaan karena ingin bersama keluarga. Sehari-hari, aku lah yang membanting tulang untuk semua pekerjaan rumah tangga karena Agung tidak setuju dengan adanya pembantu rumah tangga.
Memang benar apa yang dikatakan orangtuaku. Hidup itu penuh dengan pilihan. Dan aku sudah memilih pilihan untuk hidupku. Meski orang lain menilai pilihan yang kuambil diluar akal sehat, tapi aku harus bisa menjalani hidupku. Hidupku demi keluargaku, demi kelulusan sekolah pernikahanku. Semoga. Doakan ya :-)
*) seperti diceritakan oleh sumber kepada penulis