Cerita Tetangga


Namanya hidup di area komplek perumahan, tentunya hidup bertetangga sudah wajib hukumnya. Aneka macam silahturhami, arisan, atau bahkan hanya sekedar bertegur sapa ala preman. Maksudnya dari masing-masing rumah saling berteriak. Haha !
Tapi boleh percaya boleh tidak. Selama hampir setahun tinggal di rumah baru ini, saya belum begitu mengenal tetangga kiri rumah. Bukannya saya sombong. Saya telah mencoba untuk membuka jalinan tali silahturahmi namun sepertinya belum pernah berhasil khusus mereka. Saya masih bingung salah di mana ?

Kebetulan di rumah saya tinggal bertiga bersama ibu mertua dan suami. Konon, menurut ibu mertua saya, tetangga kiri kami memang keluarga super sibuk. Seluruh anggota keluarga jarang berada di rumah, sekalinya berada di rumah, mereka gunakan waktu untuk tidur dan tidur. Bahkan di setiap acara komplek pun yang muncul hanya nama dan uang setorannya saja, orangnya tidak pernah muncul.

Pernah suatu hari, saya dibuat panik karena mendengar suara hujan turun. Teringat jemuran pakaian yang cukup banyak, saya pun bergegas keluar kamar. Tapi begitu keluar kamar, di luar matahari bersinar terik. Lho ? Ternyata suara air berasal dari torance tetangga sebelah kiri. Torance sudah terisi penuh namun air masih terus mengalir hingga menyebabkan air tumpah ruah. Suaranya mirip dengan derasnya hujan. Awalnya saya dan keluarga mencoba mendiamkan saja. Alasan kami saat itu, lumrah kan bila orang mengisi air kemudian kelupaan hingga sedikit meluap. Tapi biasanya hanya sesaat. Setelah mendengar suara air meluap, pasti kita akan bergegas untuk mematikan air itu.
Namun yang terjadi adalah, hampir lima belas menit air terus meluap-luap dari torance dan tidak ada tanda-tanda akan berhenti. Ibu mertua saya yang tidak tahan kemudian menelepon si tetangga. Yang mengangkat pembantu rumah tangganya.
“ Oh iya ya ? Udah penuh ya ? “ jawab orang di seberang telepon saat Ibu mertua saya mengingatkan.
“ Iya, sudah lebih dari lima belas menit yang lalu, Mbak.”
“ Oh iya Bu, terima kasih.”
Hampir lima belas menit dari telepon ditutup, air baru berhenti meluap.
Kira-kira air yang tumpah tadi bisa mengisi satu torance baru ya ?
Parahnya, hal ini terjadi hampir setiap hari. Tiap hari juga kami bergantian mengingatkan dengan menelepon mereka. Tanggapannya tetap sama.
Masalahnya tumpahan air yang berlebihan itu membasahi taman belakang kami sehingga menjadi becek. Pernah Ibu mertua saya ngotot mau berbicara dengan si empunya rumah.
“ Maaf Bu, Nyonya nya sedang mandi.”
“ Tuannya ?”
“ Tuan sedang keluar kota, bulan depan baru pulang.”
Lima belas menit kemudian, ditelepon lagi.
“ Maaf Bu, barusan aja Nyonya berangkat. Sedang buru-buru...”
Malamnya di telepon lagi.
“ Bu, Nyonya sudah masuk kamar, istirahat.”
Waduuh...!

Lain lagi cerita tetangga kanan. Ada dua rumah yang menjadi tetangga kami sebelah kanan. Mereka terdiri dari dua rumah yang bagian belakangnya saling berdempetan. Jadi tetangga kanan depan adalah tetangga satu komplek, tetangga kanan belakang sudah berbeda komplek. Si tetangga kanan belakang memiliki rumah tingkat dua. Bagian atas yang tepat bersebelahan dengan kami adalah tempat khusus untuk menjemur pakaian. Suatu ketika beberapa helai pakaiannya jatuh ke halaman belakang kami. Bermaksud untuk lebih mengenal dengan tetangga, saya menelepon ke rumahnya untuk memberitahu tentang pakaian itu untuk kemudian bermaksud mengembalikan ke rumahnya langsung.
“ Oh tidak usah, Bu. Terima kasih, nanti saya akan suruh satpam saya untuk ambil ke rumah Ibu ya.”
Dan...klek. Telepon di tutup.

Suatu ketika, yang tertiup angin dan terjatuh di halaman kami adalah pakaian dalam wanita. Saya sempat berpikir kalau pakaian dalam, tentunya tidak mungkin yang disuruh mengambil adalah satpam. Ketika saya telepon, “ Bu Atiek*) maaf, ada jemuran Ibu yang jatuh ke halaman saya...”
Belum selesai saya bicara , “ Oh jatuh lagi ya, ya sudah ntar saya suruh satpam saya ambil ke rumah Ibu..”
“Anu, Bu... Maaf yang jatuh pakaian dalam Bu Atiek.”
“Iya iya, gak apa- apa, ntar si Ahmad ke rumah Ibu kok untuk ambil. Terima kasih ya. Maaf saya buru-buru. Yuk, Mariii...”
Klek. Telepon ditutup. Sebetulnya saya hampir mau mengusulkan jika ia tidak keberatan, area jemur pakaian itu dibatasi dengan tembok, plastik atau bahan apapun untuk menghindari hal-hal demikian. Soalnya pakaian yang jatuh pasti akan kotor mengingat jatuh ke tanah di taman belakang kami.
Ya, paling tidak sudah ada Yuk, Mariii....
Tapi saya pikir-pikir lagi kasihan juga si Ahmad.

Kalau cerita tetangga kanan depan, tak kalah seru. Setiap akhir minggu, telepon rumah selalu berdering dari Bu Joice *) . Hampir setiap minggu mereka akan berlibur ke luar kota, jadi Bu Joice akan pamitan sekaligus menitipkan rumahnya kepada kami. Ya, setiap minggu. Kadang mereka menyeberang pulau segala semata-mata untuk berlibur di akhir minggu. Sekali dua kali kami senang saja ketika sepulang dari liburan mereka memberikan kami sekeluarga oleh-oleh. Ada saja yang dibawanya. Mulai dari brownies Bandung, petis Malang, empek-empek Palembang, keripik pisang Lampung, sampai aneka pajangan dari berbagai daerah. Tapi lama-lama kami jadi sungkan juga. Dengan alasan merasa kurang enak, kami persiapkan aneka penganan sebagai balasan oleh-oleh. Nah, kali ini keluarga Ibu Joice sedang berlibur ke Pantai Pangandaran dan sore ini mereka akan pulang. Kami dengan pe-de sudah memesan satu paket samosa ke tukang kue langganan untuk diberikan ke keluarga Ibu Joice. Seperti biasa, keesokan harinya, Ibu Joice datang berkunjung ke rumah membawa satu dus sedang berisi samosa! Katanya karena hujan deras sepanjang perjalanan, tidak bisa mapir beli oleh-oleh, jadi akhirnya beli samosa di tukang kue yang sama dengan kami pesan. Dengan demikian selama tiga hari dua keluarga makan samosa berturu-turut. Haha !

Ya...itulah nikmatnya bertetangga.


*) bukan nama sebenarnya.

cari