Buah Selingkuh


Di kolong langit ini, tidak ada sesuatu yang tidak mungkin.


Aku baru saja pulang dari sebuah Café di bilangan Kemang. Aku tidak tahu harus menyesali pertemuan itu atau tidak. Pertemuanku dengan Hellin, wanita yang selama ini membuat ku tidak bisa hidup tenang.

Hellin hanyalah wanita biasa saja. Secara fisik tidak terlalu sempurna. Tutur katanya pun biasa saja. Tapi entah ada apa di dalam matanya yang membuat aku terpikat, selalu ingin menatap dia. Mungkin semua orangpun demikian. Setelah pembicaraan cukup lama dengannya baru kuketahui ternyata dia berkerja sebagai seorang sekretaris di sebuah perusahaan kontraktor. Dari penampilannya, semua orang yang meliHat Hellin pasti langsung berpikir ia adalah seorang wanita karir sejati. Tapi tidak buat aku.
Bagiku, dia hanya seorang wanita yang mengancam hidupku.

“Tapi kami berdua sudah sepakat akan menikah.” Ucap Hellin dengan pandangan yang begitu polos ketika aku memintanya untuk menjauhi Roy, suamiku.
Parahnya, Hellin sudah mengetahui bahwa aku dan Roy telah menikah tiga tahun lalu bahkan hubungan mereka terjalin lebih dulu dibandingkan dengan pernikahanku.

Aku pulang dengan hati lunglai. Pertemuan yang kuharap bisa membawa suamiku kembali ke pelukkanku ternyata sia-sia. Aku pikir Hellin bisa kuajak berbicara dari hati ke hati sebagai sesama wanita.

***

Satu bulan telah berlalu dari pertemuan di cafe itu. Roy telah pergi dari rumah membawa semua barang miliknya, meninggalkan aku dan Raya, buah hati kami. Tangisan Raya setiap kami bertengkar ternyata tidak bisa membendung kebulatan tekad Roy untuk berpisah dariku.
Kini aku sudah hampir terbiasa menghabiskan waktu hanya berdua dengan Raya.

Tanpa terasa, di tengah kegundahan dan kesendirianku, banyangan demi bayangan di masa lalu kembali terkuak.
Aku dan Roy berkenalan dengan perantaraan seorang teman. Tanpa menunggu lama, status kami langsung menjadi pacar. Maklum usiaku yang ABG saat itu memang menantikan sosok pacar yang semua ada pada diri Roy. Karena begitu sayangnya, Roy menjadi sangat posesif, ia tidak akan mengijinkan aku berpergian seorang diri tanpa dia. Di tengah kesibukannya, ia memang menyempatkan waktu untuk bertemu denganku di akhir pekan. Seiring dengan waktu, kesibukkan Roy terus bertambah, terutama setelah ia mendapat posisi yang cukup meyakinkan di perusahaannya. Aku hanya bisa mendoakannya agar ia selalu sukses, meskipun hatiku mulai dirudung kegundahan mengingat masa pacaran kami sudah berlangsung lebih dari 10 tahun. Orang tua kami sudah mendesak agar kami segera melangsungkan pernikahan. Roy beberapa kali menolak dengan alasan kesibukan dan ketidaksiapannya. Aku hanya bisa berpasrah. Hingga suatu hari, Roy tiba-tiba datang menemuiku dan mengajakku segera menikah. Meski dilanda kebingungan karena begitu mendadak, aku mengiyakan saja. Aku memang benar-benar mencintainya. Segala sesuatunya berlangsung begitu indah, hingga kejadian malam itu.

***

“Aku nggak percaya, mungkin salah hasil tes nya..” ucap Roy malam itu.
Aku sekali lagi menunjukkan hasil tes kehamilan yang kulakukan sendiri. Ada dua garis pink di sana. Aku menatap wajah Roy dengan penuh harap, sekaligus bersiap seandainya dia akan memeluk dan menciumiku.
Tapi yang terjadi...
“Aah..tes seperti ini kan bisa salah...” Roy melempar testpack ke atas ranjang dan masuk ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi dia berteriak, “ Coba beli tes yang lain lagi aja.”

Aku tidak tahu harus berkata apa.
Akhirnya kukatakan,” Kalau begitu, besok temani aku cek ke dokter saja ya.”
“Besok aku ada meeting sampai malam, kalau kamu mau cek ke dokter, ke dokter sendiri saja ya.”
Roy masih berteriak dari dalam kamar mandi.

Aku meraba perutku.
Maafkan Ayahmu, Nak. Bukannya dia tidak menginginkanmu.

***

Semakin hari perbuatan Roy semakin tidak menunjukkan bahwa ia menyayangiku. Ia telah berubah dari suami menjadi musuh. Setiap melihat aku, dia pasti marah dan kemudian pergi dari rumah. Aku melalui kehamilanku sendirian. Untungnya saat aku melahirkan, dia ada di Rumah Sakit, menungguiku bersama sanak keluarga lain, meski setelah tahu anaknya lahir, ia kemudian pergi dengan alasan untuk urusan kantor.
Dan kejadian-kejadian selanjutnya terjadi dan selalu aku maklumi. Meski aku sempat bertanya-tanya sesibuk apakah suamiku hingga selalu pulang larut malam bahkan di akhir pekan kadang tidak pulang. Semua itu selalu dia ucapkan arena urusan pekerjaan. Beberapa kali aku harus membawa Raya ke dokter sendirian, lagi-lagi karena alasan Roy sibuk dengan pekerjaan. Semua itu semakin membuka mataku saat ini. Bukan...Roy bukan sibuk dengan pekerjaan. Dia sibuk dengan Hellin.

***

Aku pandangi Raya yang sedang minum susu. Wajahnya sungguh mirip dengan Roy. Di usianya yang menginjak empat tahun, seharusnya ia tengah bahagia di antara pelukan ayah bundanya. Bukan selalu mendengarkan teriakan dan perkelahian di antara kami berdua.
Aku angkat termometer dari mulut mungilnya.
Ah, 39.7 derajat!
Belum turun juga sejak kemarin malam.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung berkemas. Beberapa saat kemudian, aku dan Raya sudah berada di dalam taxi menuju Rumah Sakit. Di luar hujan sangat lebat. Aku memeluk Raya dengan erat.
Di tengah perjalanan, aku sempat menulis pesan singkat.
Ass.Wr.Wb, Ayah. Raya demam, pnasnya blm trn sjk kmrn. Skrg sy sdg bw Raya ke RS. Mhn doa spy Raya cpt sembuh. Thx.
Tidak ada balasan.
Hingga aku pulang ke rumah. Tidak ada balasan.

***

Semakin hari kondisi Raya semakin lemah. Dia tidak mau minum susu. Berbagai obat dokter telah diminumnya dan panasnya tidak kunjung turun. Badan Raya semakin kurus. Dokter mengatakan Raya hanya demam biasa. Aku berkali-kali komplain karena Raya tidak kunjung sembuh. Terakhir dokter meminta Raya dirawat inap. Aku tidak tega melihat selang infus yang memasuki tubuh kurusnya.
Raya, bertahanlah. Bunda hanya punya kamu saat ini. Bertahanlah sayang.

***

Tuhan menjawab doaku. Kondisi Raya kemudian semakin membaik. Putri kecilku sudah mulai makan dan minum susu dengan lahap. Badannya semakin montok dan aku sangat terharu melihat senyuman dan tawanya. Tidak sekalipun Raya menanyakan Ayahnya. Aku pun tidak berani menyinggung masalah ini karena aku tak pernah tahu jawaban apa yang harus kujelaskan kepada Raya.

***

“Aku menyesal, Nina. Maafkan aku.”
Aku terdiam terpaku.
Tubuhku tidak bisa kugerakkan sama sekali. Semua terasa membeku.
Aku memiliki banyak kata yang ingin kuucapkan, tapi semua berakhir hanya dengan kelu.

Kupandangi wajah di hadapanku yang menunduk lemah. Begitu kuyu. Hati kecilku merasa kasihan namun amarah masih menggelora di dada.Tak terasa tetesan air hangat mengalir dari sudut mataku.

“Maafkan kami, Nina. Maafkan kami telah menyakiti kamu dan Raya.“
Aku tidak bisa mendengar kelanjutan suaranya lagi. Pandanganku penuh dengan air mata. Segera kupalingkan wajahku, kupandangi secara bergantian, Hellin yang menangis tersedu di hadapanku kemudian rumput kering di sekitar nisan itu dimana suamiku terbaring di sana.

***

Roy tidak hanya meninggalkan aku dan Raya demi seorang Hellin. Ternyata malam itu, Roy bermaksud meninggalkan Hellin demi aku dan Raya. Setelah pertengkaran hebat dengan Hellin, Roy pergi mengendari mobil dengan kecepatan luar biasa. Hujan lebat menyebabkan mobil Roy tergelincir. Ya, hujan yang sama ketika aku dan Raya berpelukan di dalam taxi menuju Rumah Sakit.


Kita baru merasakan seseorang begitu berharga ketika kita kehilangan dirinya.

cari