Kacamata Siapa ?



Pagi ini, matahari sudah menunjukkan kegarangannya. Meski jam di pergelangan tanganku belum menunjukkan pukul tujuh pagi, tapi sinarnya sudah menusuk kulit. Sekiranya itulah yang aku rasakan meski aku kini duduk di deretan kursi bis kota.

Ya, bis eks-Jepang dengan kode 46 itu memang tidak terlalu penuh seperti hari-hari biasanya. Meski ada beberapa penumpang yang berdiri, namun bis tidak terlalu padat. Para pedagang masih bisa lalu lalang. Kondektur pun masih leluasa menagih ongkos ke sana ke mari. Namun semuanya tidak dikemas dengan indah karena kami masih saja terjebak macetnya Jakarta.

Semula aku tidak terlalu memperhatikan keramaian di sekitarku. Maklum MP3 yang terpasang sejak aku keluar rumah, masih setia menggaungkan irama Natal. Lama kelamaan aku mulai mencopot satu earphone ku dan mencoba menyimak keramaian yang semakin lama semakin marak.

Ternyata ada satu orang bapak yang menjadi pusat perhatian. Ia duduk persis di belakangku, hanya di posisi silang sehingga aku masih bisa melihatnya hanya dengan lirikan mata. Bapak itu sibuk dengan dirinya sendiri. Ia menyanyi, berbicara, bahkan hampir menangis sendiri. Sekilas kuperhatikan Bapak itu. Penampilannya sungguh di luar dugaan. Ia mengenakan kemeja cukup rapi. Wajah dan tubuhnya pun bersih, kumis dan jenggot tercukur rapi, pakaiannya bersih.

Sementara itu, hampir seluruh penumpang mulai memperhatikan beliau. Mereka bahkan tak ragu untuk tertawa sambil pandangan dan tangan menunjuk ke arah si Bapak. Parahnya, ada suara yang kudengar jelas, men-cap si Bapak itu stress, gila, dan kata-kata serupa dengan itu. Si Bapak seperti tak peduli, ia tetap memandang ke arah jendela, tetap bernyanyi atau berbicara sesuka hatinya.

Sambil tetap membelakangi beliau, aku mencoba menyimak isi perkataannya. Aku sedikit terkejut begitu menangkap apa yang ia katakan. Dalam nyanyian, puisi, ataupun pembicaraannya, ia berkeluh tentang kesedihannya ditinggal oleh orang yang dicintainya. Ia begitu terpukul karena si wanita pergi dengan pria lain. Kadang dalam kata-katanya kudengan ada sedikit getaran sedih. Aku mencoba menutup telingaku dari perkatan dan tawa ejekan penumpang di bis. Tapi mereka malah tertawa semakin keras.

Hingga di suatu tempat, si Bapak turun. Dalam perjalanan menuju pintu turun, ia tetap asyik berceloteh tanpa peduli sekitarnya. Aku terpaku di tempat dudukku, menyadari bahwa orang-orang di bis masih membicarakan si Bapak bahkan setelah ia tidak ada lagi.

Hati kecilku seperti berteriak. Aku merasa ada yang salah di sini. Tapi siapa yang salah?
Mereka yang mengadili si Bapak dengan menyebutnya stress atau gila tanpa tahu jelas latar belakangnya, atau si Bapak yang tidak mampu meredam gejolak emosi sehingga mengganggu kenyamanan di fasilitas umum, atau si wanita yang tidak punya perasaan sehingga melukai perasaan si Bapak yang begitu mencintainya, atau aku yang hanya bisa diam tanpa berbuat apa-apa melihat ketidakadilan itu?

Aku sudah turun dari bis kota, berjalan lunglai ke gedung kantorku. Tapi pikiranku masih melekat pada kejadian di atas bis tadi.
Jadi siapa yang salah?
Mungkin tidak ada yang patut dipersalahkan. Semua tergantung kita melihat dari kaca mata siapa?
Mungkin mereka menilai diri mereka jauh lebih baik dibandingkan si Bapak.
Mungkin aku justru tidak jauh lebih baik dari si Bapak atau si wanita itu.
Mungkin penumpang-penumpang di bis itu juga.
Mungkin.


Other mistakes are more clear to see than ours.
a real story of mine, God bless you Sir :)

cari